Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 100 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
keputusan presiden (Keppres) yang sifatnya mengatur harus dimaknai
sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan presiden yang sifatnya
mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang mana
peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa keputusan presiden
ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat selain mengatur
(bersifat menetapkan sesuatu). Untuk penjelasan lebih lengkapnya simak
di dalam artikel Perbedaan antara Keputusan Presiden dengan Peraturan Presiden.
Jimly Asshiddiqie di dalam bukunya yang berjudul Perihal Undang-Undang
(hal. 9-10) mengatakan bahwa jika subjek hukum yang terkena akibat
keputusan itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa
norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan
norma hukum yang bersifat individual-konkret. Tetapi, apabila subjek
hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu
secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu
disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum.
Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak itu biasanya bersifat
mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking)
ataupun keputusan yang berupa vonis hakim yang lazimnya disebut dengan
istilah putusan. Oleh karena itu, ketiga bentuk kegiatan pengambilan
keputusan tersebut dapat dibedakan dengan istilah:
1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil kegiatan pengaturan itu disebut “peraturan”;
2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif ini disebut dengan “Keputusan” atau “Ketetapan”; dan
3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis).
Sedangkan instruksi presiden, menurut Jimly Asshiddiqie(hal. 20) merupakan “policy rules” atau “beleidsregels”,
yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai
bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa. Disebut “policy” atau “beleids”
atau kebijakan karena secara formal tidak dapat disebut atau memang
bukan berbentuk peraturan yang resmi (ibid, hal. 391). Umpamanya, surat
edaran dari seorang Menteri atau seorang Direktur Jenderal yang
ditujukan kepada seluruh jajaran pegawai negeri sipil yang berada dalam
lingkup tanggung jawabnya, dapat dituangkan dalam surat biasa, bukan
berbentuk peraturan resmi, seperti Peraturan Menteri. Akan tetapi,
isinya bersifat mengatur (regeling) dan memberi petunjuk dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas kepegawaian. Surat edaran semacam inilah yang biasa dinamakan “policy rule” atau “beleidsregel”.
Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya tersebut (hal. 392), mengutip pendapat Michael Allen dan Brian Thompson, yang mengatakan bahwa peraturan kebijakan atau “policy rule” yang dapat disebut juga sebagai “quasi legislation” itu dapat dikelompokkan dalam 8 (delapan) golongan, yaitu:
1. Procedural rules (peraturan yang bersifat procedural);
2. Interpretative (petunjuk penafsiran);
3. Instruction to Officials (perintah atau instruksi, seperti Instruksi Presiden dsb);
4. Prescriptive/Evidential Rules;
5. Commendatory Rules;
6. Voluntary Codes;
7. Rules of Practices, Rules of Management, or Rules of Operation;
8. Consultative Devices dan Administrative Pronouncements.
Aturan-aturan
kebijakan ini memang dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk dokumen
tertulis yang bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan,
dan mengatur suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Dalam praktik di
Indonesia, aturan-aturan kebijakan itu dapat dibuat dalam bentuk-bentuk
seperti:
1. Surat edaran (circular), seperti Surat Edaran Bank Indonesia;
2. Surat perintah atau instruksi, seperti misalnya Instruksi Presiden (Inpres);
3. Pedoman kerja atau manual;
4. Petunjuk Pelaksanaan (jutlak);
5. Petunjuk Teknis (juknis);
6. Buku Panduan atau “guide” (guidance);
7. Kerangka Acuan, Term of Reference (TOR);
8. Desain Kerja atau Desain Proyek (Project Design);
9. Dan lain-lain sebagainya.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita lihat bahwa instruksi presiden hanya
terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu
pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan keputusan presiden, ada yang
bersifat mengatur (regeling) (yang dipersamakan dengan peraturan presiden) dan ada yang bersifatnya menetapkan (beschikking).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar