Sejarah Legendaris Kodak Yang Sekarang Bangkrut
Sejarah
datang dan pergi, begitu juga perusahaan baru muncul dan berkembang
sementara yang tua harus berjuang atau ditinggalkan konsumen, namun
bagaimana bila perusahaan legendaris yang harus tutup toko tersebut
adalah sang legenda Kodak? Dulu waktu kecil penulis ingat saat-saat
memakai kamera manual dan saat mengganti film yang teringat adalah
Kodak. Namun sekarang kita tidak akan menemui merek Kodak lagi karena
sekarang Kodak telah dinyatakan bangkrut. Sebagai perpisahan kami
mengetngahkan sejarah dari Kodak.
Semua berawal dari George Eastman yang mematenkan penyimpanan film fotografik
dalam sebuah roll atau gulungan. Empat tahun kemudian dia menyempurnakan kamera buatannya
dan mendirikan Kodak tahun 1892. Alasan dia menamakan Kodak karena nama ini tidak
mungkin salah diucapkan dan tidak bermakna apapun
hmmm mungkin anda musti jalan-jalan ke Indonesia Sir mencicipi Swike Kodak ups Swike Kodok kami.
Kodak Brownie kamera dijual dengan harga $1 pada tahun 1900. Diklaim mudah digunakan sesuai tagline-nya
"Anda tekan tombolnya, kami yang mengurus sisanya"
Markas Kodak yang berada di London, gambar diambil tahun 1902
Sebuah foto berjudul "A Kodak Create Sensation" diambil tahun 1890-1910
George Eastman pendiri Kodak bersama Thomas Edison, foto diambil tahun 1920-an.
Film format 8mm diperkenalkan Kodak tahun 1932. Tahun 1965 Kodak mengeluarkan Super-8 format.
Yang kemudian menjadi sangat populer diantara pembuat film amatir.
Tahun 1935 Kodak memperkenalkan Kodachrome film, dan terus diproduksi selama 74 tahun, terakhir diproduksi tahun 2009.
Kodachrome menjadi sangat populer bahkan dijadikan nama taman di Utah.
Iklan Kodak tahun 1958
Tanggal 20 Februari 1962, manusia pertama yang mengorbit ke luar angkasa, John Glen memotret bumi
dengan kamera yang dipersenjatai film Kodak 35mm
Foto-foto tertembaknya presiden Amerika John F Kenedy diambil oleh fotografer Abraham Zapruder dengan kamera yang
berisi 8mm Kodachrome II film berwarna
Kamera saku Instamatic diperkenalkan tahun 1963.
Gambar bumi diambil dari Lunar orbiter tanggal 23 Agustus 1966, lagi-lagi memakai kamera Kodak.
Neil Amstrong mengambil gambar foto Aldrin memakai 70mm lunar surface camera yang berisi film Kodak
Tahun 1975 insinyur Kodak bernama Steven Sasson prototipe pertama kamera digital. Seukuran pemanggang roti dengan berat 8 pound,
Kamera ini hanya memiliki resolusi 0,01 megapiksel dan butuh waktu 23 detik untuk mengambil gambar hitam putih yang
kemudian disimpan di dalam tape.
Gambar yang diambil bisa ditampilkan di tv dengan bantuan perangkat VCR, namun Kodak tidak terlalu serius dengan
kamera digitalnya sampai tahun 1991 ketika Kodak mulai meluncurkan DCS 100 yang memiliki sensor 1.3 megapiksel
dan dihargai $13.000
Kodak memperkenalkan Disk film format, namun disk ini tidak terlalu populer.
Kisah Ambruknya Sang Raksasa
Pada hari Kamis, 19 Januari 2012, raksasa yang kelelahan itu roboh,
meski belum mau lempar handuk. Kodak, raksasa dunia fotografi, pada hari
itu akhirnya mengajukan permohonan perlindungan bangkrut kepada
Pengadilan Pailit AS melalui Chapter 11 Undang-Undang Kepailitan.
Chapter 11 “pada intinya berfungsi membantu perusahaan yang
sedang terancam bangkrut atau pailit, tetapi masih memiliki prospek pada
masa datang. Itulah sebabnya mengapa pasal ini disebut dengan bankruptcy protection atau proteksi pailit.” jelas Ricardo Simanjuntak, pakar hukum kepailitan, sebagaimana dikutip harian Bisnis Indonesia.
Kodak masih bisa bangkit. Tapi tentu tak sebagai raksasa lagi.
Transformasi Teknologi Fotografi
Para pundit merujuk pada transformasi teknologi fotografi, dari seluloid (film) ke silikon (digital), sebagai biang kerok ambruknya Kodak. Ironisnya, metamorfosa ini tersintesa dari lab Kodak sendiri. Pada tahun 1975, Steven J. Sasson, salah seorang insinyur Kodak, membuat kamera digital. Kamera digital pertama di dunia ini punya resolusi sepuluh ribu piksel; hasil jepretannya disimpan pada pita kaset.
Manajemen Kodak akui kamera Sasson ini “cute”.
“That’s cute but don’t tell anyone about it,” kata Sasson mengenai reaksi manajemen Kodak, sebagaimana dikisahkan the New York Times. Pembesar Kodak jatuh hati, tapi mereka tidak sampai jatuh cinta pada penemuan ini.
Baru pada awal tahun 2004-lah Kodak mengumumkan untuk stop produksi kamera film dan beralih ke kamera digital, nyaris 30 tahun setelah Kodak membuat kamera digital pertama kali. Sayang, di pasar telah menunggu para samurai Jepang: Canon, Nikon dan Sony. Produk para pendekar Jepang ini dianggap lebih unggul dibanding Kodak. Lalu ada smartphone dengan fungsi kamera digital. Kamera ponsel pintar ini berkualitas, dan disukai pasar, sampai tidak bisa dibedakan ini ponsel atau kamera. Kamera digital bikinan Kodak pun kalah bersaing.
Saham Kodak sebelum menyatakan diri bangkrut adalah 37 sen (0,37 dollar AS), padahal saham Kodak pernah dihargai 97 dollar AS per saham pada tahun 1997.
Tahun 1976, 90 % film kamera dan 85 % kamera yang dijual di AS adalah Kodak. Tahun 1996 penjualan Kodak pernah menembus angka 16 miliar dolar AS. Tahun 1999 laba bersih Kodak 2,5 miliar dollar AS. Karyawan Kodak pun harus dipangkas drastis dari hampir 150.000 menjadi kurang dari 15.000. Sangat tragis mengingat Kodak sebelumnya adalah raja pasar kamera. Kodak adalah Google dan Apple pada eranya.
Kodak bukan tidak menyadari ancaman kamera digital ini. Pada tahun 1981, setelah Sony merilis kamera digital, Kodak melakukan riset pasar yang sangat detail mengenai ancaman fotografi digital.
Kesimpulan riset adalah pertama: fotografi digital berpotensi menggerus bisnis inti Kodak yang didominasi kamera film. Kesimpulan kedua, butuh waktu untuk transformasi tersebut; tapi Kodak punya sekitar satu dekade untuk bersiap-siap. Ini harusnya jeda waktu (windows of opportunity) yang cukup bagi Kodak untuk mempersenjatai diri.
Kesalahan Strategis
Tetapi bukannya mentransformasi diri, Kodak malah melakukan kesalahan strategis. Daripada meningkatkan kualitas dan mematangkan teknologi kamera digital, supaya mantap beralih ke teknologi baru, Kodak justru hanya mau mengembangkan teknologi digital demi memperbaiki kualitas kamera film. Maksud Kodak begini: user akan menggunakan kamera untuk ambil potret, pilih foto mana mau dicetak, kemudian foto pilihan ini akan disimpan di dalam film pada kamera tersebut. Pada kamera konvensional, Anda tidak bisa melihat hasil jepretan sebelum foto tercetak. Pada kamera ini, user bisa pilih gambar mana yang mau dicetak, gambar mana yang mau dibuang. Kamera yang dipasarkan Kodak ini, Kodak Advantix Preview, bisa melakukan fungsi ini karena ia blasteran digital dan film. Kodak menghabiskan dana sekitar 500 juta dollar AS untuk mengembangkan produk Aventix.
Tapi mana ada orang mau beli kamera digital tapi masih harus bayar film seluloid untuk cetak foto?
Strategi setengah hati ini terus dikembangkan oleh Kodak meskipun pada tahun 1986, Kodak berhasil mengembangkan kamera digital dengan resolusi satu juta piksel pertama, yang menurut hasil riset Kodak sendiri merupakan breakthrough yang harus tercapai agar kamera digital bisa lepas landas.
Kenapa Kodak menerapkan strategi ini? Kodak enggan meninggalkan bisnis inti yang masih menguntungkan. “Pebisnis yang bijaksana akan menyimpulkan bahwa sebaiknya tidak terburu-buru untuk pindah dari bisnis yang menghasilkan 70 sen untuk 1 film ke digital yang, mungkin paling tinggi, hanya 5 sen,” kata Larry Matteson, mantan eksekutif Kodak. Kodak tahu tidak ada pilihan selain harus beradaptasi. Sayang, adaptasi yang dilakukan Kodak lambat.
Kodak ambruk bukan karena dibantai fotografi digital; Kodak ambruk karena ingin membantai fotografi digital.
Namun tidak ada alasan Kodak menuding digital fotografi sebagai kambing hitam karena Fujifilm, rival Kodak, juga kena tanduk tapi ia selamat.
Fujifilm, perusahaan yang punya bisnis inti seperti halnya Kodak juga ikut digilas. Bedanya, Fujifilm mau beradaptasi, melakukan transformasi bisnis, meninggalkan bisnis intinya ketika tahu itu tak lagi menguntungkan.
Fujifilm masih berjaya saat ini dengan kapitalisasi bisnis sebesar 12.6 miliar dollar AS, sedangkan Kodak hanya 220 juta dollar AS.
Clay Christensen penulis buku bisnis berpengaruh The Innovator’s Dilemma, menyalahkan Kodak atas kesalahan strategis ini. Kodak sudah melihat “tsunami” akan tiba, katanya, tapi tidak berbuat apa-apa.
Kodak gagal melakukan transformasi karena terkunci pada model bisnis yang mengagungkan kamera film. Ketika Anda sudah menjadi pemimpin pasar, dan bisnis yang Anda kuasai hampir menjadi monopoli, dan sangat menguntungkan sebagai bisnis inti, Anda akan makin betah dengan model bisnis yang ada.
Ini sangat ironis, mengingat pendiri Kodak, George Eastman, juga menghadapi pilihan transformasi bisnis, bahkan dua kali, tapi ia bertindak berbeda. Pertama, ketika Eastman beralih ke kamera film dari kamera dry-plate yang sebenarnya masih sangat menguntungkan dia. Kedua, ketika Eastman pindah ke film berwarna meskipun pada waktu itu kualitasnya masih inferior dibanding film hitam putih, yang didominasi Kodak.
Kodak adalah bukti bahwa suatu perusahaan akan ambruk jika tidak punya mindset yang terbuka pada perubahan, sebesar apapun perusahaan tersebut. Perusahaan harus melakukan transformasi, jika bisnis utama tidak bisa lagi dipertahankan. Kodak bukannya tidak tahu perubahan itu akan datang; ia tidak membuka diri, kemudian lambat beradaptasi dengan perubahan.
Poin lain, sebuah perusahaan harus terus berinovasi bahkan jika output inovasi tersebut justru akan membabat bisnis inti. Sebenarnya inilah yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan: terus menantang dirinya sendiri dengan inovasi-inovasi baru. Jika tidak, kompetitor akan melakukan hal tersebut, dan perusahaan ketinggalan start. Ini sudah terjadi pada pasar ponsel pintar ketika Blackberry menggeser Nokia dan kemudian iPhone mengganyang Blackberry.
Dalam bisnis, timing berperan penting. Jika Anda pertama di pasar, untuk satu segmen produk tertentu, Anda akan mencuri start, dan pasar akan di bawah kendali Anda. Kodak seharusnya bisa memanfaatkan ini karena ia mewujudkan mimpi fotografi digital, tapi perusahaan ini gagal memanfaatkan momen dan momentum, dan raksasa itu pun ambruk.
Kodak masih bisa bangkit. Tapi tentu tak sebagai raksasa lagi.
Transformasi Teknologi Fotografi
Para pundit merujuk pada transformasi teknologi fotografi, dari seluloid (film) ke silikon (digital), sebagai biang kerok ambruknya Kodak. Ironisnya, metamorfosa ini tersintesa dari lab Kodak sendiri. Pada tahun 1975, Steven J. Sasson, salah seorang insinyur Kodak, membuat kamera digital. Kamera digital pertama di dunia ini punya resolusi sepuluh ribu piksel; hasil jepretannya disimpan pada pita kaset.
Manajemen Kodak akui kamera Sasson ini “cute”.
“That’s cute but don’t tell anyone about it,” kata Sasson mengenai reaksi manajemen Kodak, sebagaimana dikisahkan the New York Times. Pembesar Kodak jatuh hati, tapi mereka tidak sampai jatuh cinta pada penemuan ini.
Baru pada awal tahun 2004-lah Kodak mengumumkan untuk stop produksi kamera film dan beralih ke kamera digital, nyaris 30 tahun setelah Kodak membuat kamera digital pertama kali. Sayang, di pasar telah menunggu para samurai Jepang: Canon, Nikon dan Sony. Produk para pendekar Jepang ini dianggap lebih unggul dibanding Kodak. Lalu ada smartphone dengan fungsi kamera digital. Kamera ponsel pintar ini berkualitas, dan disukai pasar, sampai tidak bisa dibedakan ini ponsel atau kamera. Kamera digital bikinan Kodak pun kalah bersaing.
Saham Kodak sebelum menyatakan diri bangkrut adalah 37 sen (0,37 dollar AS), padahal saham Kodak pernah dihargai 97 dollar AS per saham pada tahun 1997.
Tahun 1976, 90 % film kamera dan 85 % kamera yang dijual di AS adalah Kodak. Tahun 1996 penjualan Kodak pernah menembus angka 16 miliar dolar AS. Tahun 1999 laba bersih Kodak 2,5 miliar dollar AS. Karyawan Kodak pun harus dipangkas drastis dari hampir 150.000 menjadi kurang dari 15.000. Sangat tragis mengingat Kodak sebelumnya adalah raja pasar kamera. Kodak adalah Google dan Apple pada eranya.
Kodak bukan tidak menyadari ancaman kamera digital ini. Pada tahun 1981, setelah Sony merilis kamera digital, Kodak melakukan riset pasar yang sangat detail mengenai ancaman fotografi digital.
Kesimpulan riset adalah pertama: fotografi digital berpotensi menggerus bisnis inti Kodak yang didominasi kamera film. Kesimpulan kedua, butuh waktu untuk transformasi tersebut; tapi Kodak punya sekitar satu dekade untuk bersiap-siap. Ini harusnya jeda waktu (windows of opportunity) yang cukup bagi Kodak untuk mempersenjatai diri.
Kesalahan Strategis
Tetapi bukannya mentransformasi diri, Kodak malah melakukan kesalahan strategis. Daripada meningkatkan kualitas dan mematangkan teknologi kamera digital, supaya mantap beralih ke teknologi baru, Kodak justru hanya mau mengembangkan teknologi digital demi memperbaiki kualitas kamera film. Maksud Kodak begini: user akan menggunakan kamera untuk ambil potret, pilih foto mana mau dicetak, kemudian foto pilihan ini akan disimpan di dalam film pada kamera tersebut. Pada kamera konvensional, Anda tidak bisa melihat hasil jepretan sebelum foto tercetak. Pada kamera ini, user bisa pilih gambar mana yang mau dicetak, gambar mana yang mau dibuang. Kamera yang dipasarkan Kodak ini, Kodak Advantix Preview, bisa melakukan fungsi ini karena ia blasteran digital dan film. Kodak menghabiskan dana sekitar 500 juta dollar AS untuk mengembangkan produk Aventix.
Tapi mana ada orang mau beli kamera digital tapi masih harus bayar film seluloid untuk cetak foto?
Strategi setengah hati ini terus dikembangkan oleh Kodak meskipun pada tahun 1986, Kodak berhasil mengembangkan kamera digital dengan resolusi satu juta piksel pertama, yang menurut hasil riset Kodak sendiri merupakan breakthrough yang harus tercapai agar kamera digital bisa lepas landas.
Kenapa Kodak menerapkan strategi ini? Kodak enggan meninggalkan bisnis inti yang masih menguntungkan. “Pebisnis yang bijaksana akan menyimpulkan bahwa sebaiknya tidak terburu-buru untuk pindah dari bisnis yang menghasilkan 70 sen untuk 1 film ke digital yang, mungkin paling tinggi, hanya 5 sen,” kata Larry Matteson, mantan eksekutif Kodak. Kodak tahu tidak ada pilihan selain harus beradaptasi. Sayang, adaptasi yang dilakukan Kodak lambat.
Kodak ambruk bukan karena dibantai fotografi digital; Kodak ambruk karena ingin membantai fotografi digital.
Namun tidak ada alasan Kodak menuding digital fotografi sebagai kambing hitam karena Fujifilm, rival Kodak, juga kena tanduk tapi ia selamat.
Fujifilm, perusahaan yang punya bisnis inti seperti halnya Kodak juga ikut digilas. Bedanya, Fujifilm mau beradaptasi, melakukan transformasi bisnis, meninggalkan bisnis intinya ketika tahu itu tak lagi menguntungkan.
Fujifilm masih berjaya saat ini dengan kapitalisasi bisnis sebesar 12.6 miliar dollar AS, sedangkan Kodak hanya 220 juta dollar AS.
Clay Christensen penulis buku bisnis berpengaruh The Innovator’s Dilemma, menyalahkan Kodak atas kesalahan strategis ini. Kodak sudah melihat “tsunami” akan tiba, katanya, tapi tidak berbuat apa-apa.
Kodak gagal melakukan transformasi karena terkunci pada model bisnis yang mengagungkan kamera film. Ketika Anda sudah menjadi pemimpin pasar, dan bisnis yang Anda kuasai hampir menjadi monopoli, dan sangat menguntungkan sebagai bisnis inti, Anda akan makin betah dengan model bisnis yang ada.
Ini sangat ironis, mengingat pendiri Kodak, George Eastman, juga menghadapi pilihan transformasi bisnis, bahkan dua kali, tapi ia bertindak berbeda. Pertama, ketika Eastman beralih ke kamera film dari kamera dry-plate yang sebenarnya masih sangat menguntungkan dia. Kedua, ketika Eastman pindah ke film berwarna meskipun pada waktu itu kualitasnya masih inferior dibanding film hitam putih, yang didominasi Kodak.
Kodak adalah bukti bahwa suatu perusahaan akan ambruk jika tidak punya mindset yang terbuka pada perubahan, sebesar apapun perusahaan tersebut. Perusahaan harus melakukan transformasi, jika bisnis utama tidak bisa lagi dipertahankan. Kodak bukannya tidak tahu perubahan itu akan datang; ia tidak membuka diri, kemudian lambat beradaptasi dengan perubahan.
Poin lain, sebuah perusahaan harus terus berinovasi bahkan jika output inovasi tersebut justru akan membabat bisnis inti. Sebenarnya inilah yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan: terus menantang dirinya sendiri dengan inovasi-inovasi baru. Jika tidak, kompetitor akan melakukan hal tersebut, dan perusahaan ketinggalan start. Ini sudah terjadi pada pasar ponsel pintar ketika Blackberry menggeser Nokia dan kemudian iPhone mengganyang Blackberry.
Dalam bisnis, timing berperan penting. Jika Anda pertama di pasar, untuk satu segmen produk tertentu, Anda akan mencuri start, dan pasar akan di bawah kendali Anda. Kodak seharusnya bisa memanfaatkan ini karena ia mewujudkan mimpi fotografi digital, tapi perusahaan ini gagal memanfaatkan momen dan momentum, dan raksasa itu pun ambruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar