Senin, 21 Maret 2016

Asal Muasal Kerajaan Natuna

Asal Muasal Kerajaan Natuna

Pada abat ke -7 di belahan Barat Nusantara berdirilah kerajaan Maritim Sriwijaya dengan armada dagang yang menguasai jalur-jalur pelayaran sebelah Utara melalui Laut Cina Selatan, sebelah barat melalui Selat Malaka dan sebelah Timur menguasai Laut Jawa.
Seorang pendeta Cina yang bernama I TSING pada tahun 671 Masehi singgah di Kerajaan Sriwijaya memberitakan tentang perjalanannya ke Sriwijaya dalam bukunya : 
“Ta.t ang yu ku fa kao seng chouan dan nan hai ki ko usi ne chouan” (Footnok)
Diantaranya mengisahkaN perjalanan laut I TSING di laut Cina Selatan telah singgah di Gugusan pulau-pulau, ada yang besar ada yang kecil. Pulau Besar dalam bahasanya disebut NAN TOA, Sedangkan "NAN" berarti Pulau, dan "TOA" berarti Besar, jadi artinya adalah "PULAU BESAR". Bermula dari sebutan "NAN TOA" inilah Sejarah Natuna berawal.
Setelah mengalami pasang surut kerajaan Sriwijaya mundur dan diganti oleh Kerajaan Majapahit di tanah Jawa. Seluruh kepulauan Nusantara takluk kepada kerajaan Majapahit dan tak luput pula kepulauan "PULAU BESAR" (Natuna sekarang). Pelaut-pelaut Majapahit dalam perjalanannya ke negeri Cina, Siam, Campa, Kamboja dan Annam (Vietnam) selalu menyinggahi "PULAU BESAR" (Natuna sekarang) baik waktu pulang maupun pergi untuk keperluan menambah perbekalan air dan menunggu angin kencang mereda. Pada waktu itu Gugusan "PULAU BESAR" (Natuna sekarang) merupakan pulau yang berhutan lebat, banyak terdapat burung-burung Serindit, sejenis burung Bayan/ Kakatua yang kecil. Oleh karena itulah "PULAU BESAR"   (Natuna   sekarang) berubah   sebutan   menjadi   atau diganti nama menjadi PULAU SERINDIT" (Natuna sekarang) Di pulau ini di beberapa telah ada  penghuninya antara lain Segeram. Seluan dan Setahas. 

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis Putra Sultan Mahmud Syah I yaitu Sultan Allaudin Riayat Syah mendirikan Kerajaan Johor pada tahun 1530-1564 M, merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahan beliau menempatkan atau menganngkat Datuk Kaya Datuk Kaya sebagai wakilnya di "PULAU SERINDIT" (Natuna sekarang) yaitu:

  1. Pulau-pulau Jemaja - Datok Amar Lela
  2. Pulau-pulau Siantan - Datok Kaya Dewa Perkasa
  3. Pulau Serindit ( Kemudian Pulau Bunguran ) - Datuk Kaya Inddra Pahlawan
  4. Pulau Sabda (Kemudian Tambelan)-Datuk Kaya Timbalan Siamah.

Pada masa Pemerintahan Sultan Allauddin Riayat Syah III (Th. 1597-1655 M) memerintah di Johor, menurut kisahnya Sultan Johor ini mempunyai seorang Putri yang bernama  "ENGKU PATIMAH” yang sejak kecilnya mengidap sakit lumpuh dan tidak dapat berjalan. Oleh karena sultan merasa malu, maka Sultan mengambil keputusan untuk membuang putrinya,
Secara diam-diam memang sudah dipersiapkan oleh pihak Istana Johor untuk kelengkapan keberangkatan yaitu 7 buah Pejajap (Perahu) dengan segala perlengkapannya, termasuk pengawal serta Inang dayangnya yang kesemuanya berjumlah 40 orang. Setelah persiapan rampung maka bertolaklah Sang Putri ENGKU FATIMAH dengan dibekali sebuah "MAHKOTA".
Setelah berhari - hari mengarungi taut tanpa tujuan sampailah iring-iringan PUTRI ENGKU FATIMAH itu di pulau-pulau Siantan dan mereka mengambil kesempatan untuk beristirahat di pulau-pulau tersebut, Setelah selesai beristirahat mereka segera melanjutkan perjalanannya. Berhari-hari mereka mengarungi lautan dan sampailah iring-iringan PUTRI ENGKU FATIMAH di Tanjung Galing Pulau Sabangmawang, Setelah melihat tempat untuk bermukim kurang memuaskan, mereka memutuskan untuk melanjutkan pelayaran ke Segeram.

Akhirnya iring – iringan PUTRI ENGKU FATIMAH   terdampar  di Kukup (Pulau Pasir) atau jalik di muara Sungai Segeram   Dan dari   sini   mudiklah penjajap -  penjajap itu masuk ke Sungai Segeram dan berlabuh dekat suatu perkampungan. 
Mendengar ketibaan  ENGKU   FATIMAH  Putri  dan   Sultan   Johor  di   Pulau Srindit,   maka   "DATUK   KAYA   INDRA  PAHLAWAN"   berdatang sembah. Mengingat kedatangan sang putri membawa Mahkota Kerajaan yang memerintah dari Sultan Johor, maka dengan senang hati Datuk Kaya Indra PahJawan menyerahkan kekuasaan Sang putri, Penyerahan itu diterima pula dengan senang hati oleh Putri Engku Patimah serta mengajak rakyatnya membangun pemerintahan yang baru. 
Sekitar tahun 1610 Masehi kedatangan Engku Fatimah di “Pulau Serindit” ( Natuna Sekarang ) menurut sejarah di segeram ada seseorang di gelari “ DEMANG MEGAT” yang mana asal usul sebenarnya tidak di ketahui dengan pasti. 
  
Alkisah menceritakan DEMANG MEGAT ini adalah seorang yang hanyut di atas rakit Buluh betung atau Aur, dan rakit tersebut hanyut di bawa arus dan masuk ke Sungai Segeram, di pinggiran sungai segeram banyak terdapat batang Laning dan rakit tersebut sangkut di antara sela – sela kayu, dan dari situlah DEMANG MEGAT berjangkit – jangkit naik ke darat, tubuh megat berbulu di dadanya dan tidak berpakain sebagaimana layaknya. 
Maka bertemulah rombongan Engku Fatimah dengan DEMANG MEGAT di Daerah Segeram tersebut. Pada pertemuan ini DEMANG MEGAT diajak berbahasa Melayu tetapi ia tidak mengerti bahasa Melayu, rupanya DEMANG MEGAT hanya bisa berbahasa Siam dan beragama Budha. kemudian DEMANG. MEGAT di Islamkan oleh para pengikut Putri Engku Patimah serta  dikawinkan dengan Tengku Fatimah dengan tidak ada kemalangan apa-apa, Dalam upacara perkawinan itu Megat diberi gelar “ORANG KAYA SERINDIT DINA MAHKOTA". Adapun maksud dari kata DINA adalah berasal dari keadaan di Engku Fatimah sendiri yang merasa dirinya Hina Dina karena cacat lumpuh serta dibuang oleh ayahandanya Sultan ke PULAU SERINDIT yang jauh dengan dibekali sebuah MAHKOTA KERAJAAN".
Maka sekitar tahun 1610 Masehi sejak kedatangan Engku Fatimah ke PULAU SERINDIT, dan setelah Megat bergelar "ORANG KAYA SERINDIT DINA MAHKOTA", mulailah PULAU SERINDIT berperintahan sendiri dari Kerajaan Johor atas kuasa Engku Fatimah yang berpusat di Segeram. Megat memerintahkan rakyatnya membuat sebuah Mahligai tempai bersemayam Engku Fatimah. Mahligai dibuat dari bahan KAYU BUNGUR maka dari nama KAYU BUNGUR inilah PULAU SERINDIT berganti nama menjadi "PULAU BUNGURAN".
Catatan: Menurut kamus Indonesia karangan WJS Poerwarda-minta bahwa KAYU BUNGUR adalah sejenis kayu yang bunganya berwama ungu.
Berawal dari kebiasaan Pendeta Cina I TSING menyebut Pulau Besar dengan sebutan NAN TOA, "NAN” artinya Pulau, dan "TOA" artinya Besar, inilah kebiasaan berawal. Kebiasaan lidah orang Melayu, NAN TOA ini pun berubah sebutan menjadi "NATUNA" hingga sekarang.

Tertulis dalam sejarah bahwa di Kabupaten Natuna yang dahulunya bernama PULAU TUJUH sebelum bergabung dalam Kepulauan Riau, telah memerintahkan beberapa orang “Tokong Pulau” ( Istilah yang diberikan kepada Datuk Kaya di Wilayah Pulau Tujuh ). Julukan Tokong Pulau yang diberikan kepada Datuk Kaya di Pulau Tujuh mengibaratkan seorang pemimpin yang mengendalikan Pemerintah di wilayah terkecil yang sewaktu itu diberi hak oleh Sultan Riau sesuai dengan ketentuan “Yayasan Adat" yang sudah ada pada masa itu.

Dari keterangan yang diperoleh bahwa gelar yang diberikan di dalam pembagian Wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh disebut sebagai berlkut :
  1. Wilayah Pulau Siantan : Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa
  2. Wilayah Pulau Jemaja : Orang Kaya Maha Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan.
  3. Wilayah Pulau Bunguran    :   Orang   Kaya   Dana   Mahkota, dua orang Penghulu dan satu orang Amar Diraja
  4. Wilayah Pulau Subi:   Orang   Kaya   Indra   Pahlawan   dan Orang Kaya Indra Mahkota
  5. Wilayah Pulau Serasan: Orang Kaya Raja Setia dan Orang Setia Raja,
  6. Wilayah Pulau Laut: Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja.
  7. Wilayah Pulau Tambelan : Petinggt dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia
Orang-orang besar inilah yang pada zaman dahulu memerintah di wilayah pulau Tujuh dengan masing-masing wilayah secara turun temurun dan sampai pada akhir kekuasaannya.
Oleh karena pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu masih memegang peranan "Zich Bemoelen Met" ikut mencampuri urusan pemerintahan yang menyangkut strateginya di Pulau Tujuh, maka penempatan kedudukan para Datuk Kaya diatur sedemikian rupa dengan menerapkan imperialisme yang bertujuan memecah belah persatuan dan kesatuan di wilayah Pulau Tujuh dan berpegang kepada " Devide et Impera " yang menguntungkan pihak Belanda.
Oleh karena itutah jauh sebelumnya sudah ada ditetapkan seorang penguasa Belanda bernama "Van Kerkhorff pada tahun 1908 di Tanjung Belitung atau di Binjai di depan Pulau Sedanau. Pada masa itu hutan belukar di daerah Binjai dan sekitarnya sangat lebat dan penuh rawa-rawa yang merupakan tempat sarang nyamuk Malaria maka tidak lama kemudian setelah tuan Kerkhorff terkena Malaria lalu pindah ke Sedanau dan tak lama kemudian meninggal dunia, Bermula ditempatkannya tuan Kerkhorff di Tanjung Belitung, mengingat laut di sekitar Tanjung Belitung sangat dalam dan terlindung dari serangan angin Utara,
Berkaitan dengan penempatan Van Kerkhorff mengingatkan kita kepada sejarah perjanjian " Treaty Of London : Tanggal 17 Maret 1842 yang sudah di rintis sebelumnya oleh pemerintah Hindia Belanda bersama sekutunya inggris yang membagi-bagi daerah jajahannya untuk keuntungan mereka yang berkelanjutan di masa depan. Maka itu inggris dan penguasa Belanda mencoba menanamkan pengaruhnya di Asia Tenggara, sampai kepada Kerajaan Riau - Johor mendekati masa suramnya, sehingga wilayah Riau bekas Kerajaan Riau diserahkan kepada Kolonial Belanda sedangkan Singapura dan Johor termasuk semenanjung Malaysia dikuasai Inggris.

 
Sultan Abdul Rahman Al Muazam Syah beserta Tengku Besar Umar langsung dimakzuikan oleh Kompeni Belanda pada tahun 1911 dan pada tahun 1913 dengan resmi Kesultanan Riau Lingga dibubarkan oleh penguasa Belanda dan bertempatan dengan itu berkumpullah seluruh datuk Kaya yang ada dl Riau di gedung tempat kediaman Residen (Gedung Daerah Sekarang} untuk menerima penjelasan-penjelasan dari penguasa Belanda diantaranya menyinggung tentang wilayah Pulau Tujuh mendapat perubahan pembagian wilayah yaitu :

  1. Wilayah Datuk Kaya Pulau Bunguran dibagi dua wilayah yaitu Bunguran Barat dan Bunguran Timur sedangkan Pulau Panjang tersendiri.
  2. Wilayah Datuk Kaya Jemaja di bagi dua, yaitu wilayah Datuk Kaya Ulu Maras dan Kuala Maras. Hasil dari pemecahan wilayah menunjukkan untuk memisah-misahkan puak-puak Melayu yang hidupnya sudah aman dan damai yang telah dibina oleh Datuk Kaya di Pulau Tujuh. 


Awalnya Pulau Bunguran hanya satu buah pulau yang tidak pernah dimekarkan. Kemudian Semenjak Kerajaan Riau Lingga dibubarkan oleh Belanda tepatnya tahun 1913, maka dikumpulkanlah seluruh Datuk Kaya oleb Belanda untuk tugas selanjutnya. Untuk Pulau Bunguran dibagi menjadi dua bagian yaitu Bunguran Barat dan Bunguran Timur. Kemudian setelah menjadi Kabupaten, Pulau Bunguran dimekarkan lagi menjadi Lima Bagian terdiri dari Bunguran Timur, Bunguran Timur Laut, Bunguaran Tengah, Bunguran Barat dan Bunguran Utara.
Sejarah Kabupaten Natuna tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kabupaten Kepulauan Riau, karena sebelum berdiri sendiri sebagai daerah otonomi, Kabupaten Natuna merupakan babagian dan Wilayah Kepulauan Riau, Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Repubiik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah tanggal 18 Mei 1956 menggabungkan diri ke dalam Wilayah Republik Indonesia, dan Kepulauan Riau diberi status Daerah Otonomi Tingkat II yang disepakat Bupati sebagai kepala daerah yang membawahl 4 kewedanaan sebagai berikut :
  1. Kewadanaan Tanjung Pinang, Meliputi Kec. Bintan Selatan ( Termasuk Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan tanjung pinang timur).
  2. Kewadanaan Karimun, meliputi wilayah kecamatan karimun, kundur dan moro.
  3. Kewadanaan Lingga, meliputi wilayah kecamatan Lingga, singkep dan Senayang.
  4. Kewadaan Pulau Tujuh, meliputi wilayah kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur. 

Kewedanaan Pulau Tujuh yang membawahi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur beserta kewedanaan lainnya dihapus berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/247/5/1965. Berdasarkan ketetapan tersebut, terhitung 1 Januari 1966 semua daerah administrative kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau dihapus.

seiring    dengan    semangat    Otonomi    Daerah    maka terbentuklah  "KABUPATEN          NATUNA"berdasarkan UU No: 53 Th 1999, Tanggal 12 Oktober 1999 dari hasil pemekaran Kabupeten Kepulauan Riau yang terdiri dari Enam Kecamatan yaitu ; Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Barat, Midai, Jemaja, Siantan, Serasan.



Sedangkan Tambelan yang dahulunya masih tergabung dalam wilayah Pulau Tujuh harus memisahkan diri karena pembagian wilayah termasuk ke dalam wilayah Tanjungpinang. Seiring dengan kewenangan Otonomi Daerah, Kabupaten Natuna kemudian melakukan pemekaran daerah Kecamatan, yang hingga tahun 2004 menjadi 10 kecamatan dengan penambahan, Kecamatan Palmatak, Subi, Bunguran Utara, dan Pulau Laut.
 

PUSAT PEMERINTAHAN Dl WILAYAH PULAU TUJUH

ZAMAN HINDIA BELANDA Dl SEDANAU

KEPALA PEMERINTAHAN YANG PERNAH MENJABAT

SEBAGAI CONTROLEUR, AMIR, POSTHOUDER DAN

TO - CHO WILAYAH NATUNA
Yang Menjabat Sebagai Amir
 
 


Yang Menjabat Sebagai
TO - CHO : ( Wakil Belanda )
Sedanau : 01 Oktober 1944
STEL'M : WAN ISMAIL BIN WAN HAJI MOEHD.ISA
ONDERDISTRICT HOOFD
VAN BOENGORAN BARAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar