Pengaturan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Dalam KUH Pidana terdapat pasal-pasal tertentu yang secara substansial
terkandung makna dari pengertian korupsi. Ketentuan-ketentuan KUH Pidana
dalam pengertian sempit sebenarnya sudah cukup mampu menampung dan
mewadahi berbagai bentuk perilaku menyimpang yang di dalam kepustakaan
dipahami sebagai korupsi. Misalnya kejahatan jabatan, kejahatan
penyuapan, penggelapan dan sebagainya. Dalam perspektif
perundang-undangan pidana diambil alih pengaturannya dan
dikualifikasikan sebagai jenis tindak pidana korupsi.
Ketentuan-ketentuan tidak pidana korupsi dalam KUH Pidana ditemui
pengaturannya secara terpisah dibeberapa pasal pada tiga bab, yaitu :
(1) Bab 8 yang menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum yaitu terdapat dalam pasal 209, 210 KUH Pidana.
(2) Bab 21 menyangkut perbuatan curang yaitu terdapat dalam pasal 387 dan 388 KUH Pidana.
(3) Bab 28 menyangkut kejahatan jabatan yaitu terdapat dalam pasal 415 sampai dengan 425, serta pasal 435 KUH pidana.
Rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam KUH pidana,
dapat dikelompokkan atas empat kelompok tindak pidana (delik) yaitu :
(1) Kelompok tindak pidana penyuapan, yang terdapat dalam pasal 209, 210, 418, 419 dan pasal 420 KUH pidana.
(2) Kelompok tindak pidana penggelapan, yang terdapat dalam pasal 415, 416 dan pasal 417 KUH pidana.
(3) Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion), yang terdapat dalam pasal 423 dan pasal 425 KUH pidana.
(4) Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir
dan rekanan, yang tedapat dalam pasal 387, 388 dan pasal 435 KUH
pidana.
Secara keseluruhan di dalam KUH pidana terdapat 13 buah pasal yang
mengatur dan membuat rumusan tindak pidana, yang kemudian
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Menurut S.M. Amin Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH
pidana saja sebenarnya telah cukup mengatur perbuatan korupsi. Oleh
karena itu menurut nya, tidak diperlukan lagi adanya peraturan
perundang-undangan khusus mengenai tindak pidana korupsi di luar KUH
pidan. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat,
ternyata kemudian ketentuan-ketentuan dalam KUH pidana itu dirasakan
tidak mampu lagi mewadahi pertumbuhan berbagai bentuk perilaku koruptif
di dalam masyarakat yang perlu ditanggulangi dengan hukum pidana.
Perkembangan masyrakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah
memperlihatkan gejala-gejala ke arah penyelewengan yang merupakan
perbuatan yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara. Gejala
seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik
untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan. Pada masa itu
istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat dan terasa
sangat mencemaskan. Ketentuan-ketentuan dalam KUH pidana tidak dapat
berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat
dinamakan korupsi. Dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam KUH pidana saja untuk menanggulangi masalah korupsi,
ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan
keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan
karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUH
pidana.
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasan
bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi. Atas dasar
itu pada tanggal 9 april tahun 1957, kepala Staf Angatan Darat, selaku
penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan peraturan Prt/PM-06/1957.
Pada bagian konsideran peraturan penguasa militer itu tergambar adanya
kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
yang mengalami kemacetan. Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap
sebagai cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Peraturan penguasa militer ini ternyata belum dirasakan cukup efektif,
sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta
benda. Lebih lanjut dituangkan dalam peraturan penguasa militer
Prt.PM-08/1957 tanggal 22 mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam
usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer
berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau
badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan
sangat mencurigakan. Untuk keperluan penyitaan terhadap harta benda yang
mencurigakan diatur dalam peraturan penguasa militer Prt/PM 011/1957.
Kemudian dengan berlakunya UU No. 74 tahun 1957 tentang keadaan bahaya
pada tanggal 17 april 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer
diganti dengan peraturan penguasa perang angkatan darat
Prt/Peperpu/013/1958 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
perbuatan korupsi pidana dan penilikan harta benda.
Peraturan penguasa perang pusat Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di
daerah-daerah yang dikuasai angkatan darat saja. Sementara di
daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan laut dibuat pula peraturan
penguasa militer angkatan laut Prt/zl/17 pada tanggal 17 april 1958,
yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang disebutkan
pertama.
Dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat tadi diberlakukan, kemudian pemerintah memandang perlu untuk menggantinya dengan peraturan yang berbentuk UU. Namu karena keadaan memaksa dan tidak dimungkinkan untuk membentuk sebuah UU, maka instrumen hukum yang dipergunakan untuk itu adalah dengan membentuk sebuah peraturan pemerintah pengganti UU (Peperpu). Atas dasar itu, maka pada tanggal 9 juni 1960 dikeluarkanlah PP No. 24 tahun 1960 yang mengatur mengenai pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada tahun 1961 dengan UU No.1 tahun 1961 barulah PP No. 24 Prp Tahun 1960 itu dikukuhkan status hukumnya menjadi UU, sehingga ia dikenal dengan UU No. 24 Prp Tahun 1960 mengenai pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.
UU korupsi tahun 1960 menunjukkan betapa hukum pidana Indonesia telah
mengalami perkembangan sedemikian rupa. Fakta ini dapat dilihat sebagai
manifestasi dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi
perkembangan perilaku manusia yang dinamakan korupsi. Namun pada sisi
lain, justru dengan adanya pergantian pengaturan seperti itu dapat
menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan hukum pidana yang ada
dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bambang Poernomo mengatakan bahwa pembaruan yang diadakan dalam
substansi UU No.24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang
betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola
perilaku terselubung dan mempunyai sasaran di bidang politik, ekonomi,
keuangan dan sosial budaya. Meski telah beberapa kali diadakan
pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi,
namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan
peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung
dengan hebat. Artinya, selam kurun waktu tersebut sistem peradilan
pidana tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapkan para koruptor ke
pengadilan.
Dalam pelaksanaannya ternyata pemberantasan korupsi berdasarkan UU No.24
Prp Tahun 1960 dirasakan masih belum cukup untuk menanggulangi tindak
pidana korupsi. Hal itu disebabkan karena sangat sulit untuk membuktikan
unsur melakukan kejahatan dan pelanggaran. Akibat adanya persyaratan
atau unsur yang demikian, banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara, yang sesungguhnya bersifat koruptif, sangat sukar
dipidana berdasarkan UU ini. Kesukaran itu karena sulitnya memenuhi
pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran terlebih dahulu.
Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara
efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana
korupsi. Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaruan
terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam UU
korupsi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka pemerintah pada tanggal
29 maret 1971 mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1971 mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi yang disahkan oleh presiden.
Namun demikian di dalam perkembangannya, UU No. 3 Tahun 1971 itu sendiri
dianggap oleh penegak hukum memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu
diganti. Disamping itu tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan
tindak pidana korupsi sebagai delik formal, tidak adanya ketentuan yang
dapat diterapkan terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana
korupsi. Dalam hal sanksi pidana hanya menetapkan batas maksimum umum
(dua puluh tahun dan minimum umum (satu hari), sehingga jaksa penuntut
umum dan hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum
dan maksimum umum itu.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kebijakan legislatif untuk
menutupi kelemahan yang terdapat di dalam UU No. 3 Tahun 1971. Oleh
karena itu, di dalamnya terkandung aspek-aspek pembaharuan hukum pidana.
Kebijakan perundang-undangan, khususnya di bidang hukum pidana telah
mengalami dinamika yang luar biasa sebagai respon dan wujud kegalauan
masyarakat terhadap masalah korupsi yang telah menyengsarakan rakyat
Indonesia. Hampir tidak ada satupun tindak pidan yang mendapatkan
respons dan perhatian yang sangat luar biasa dari kebijakan
perundang-undangan, selain tindak pidana korupsi. Sampai hari ini saja
tercatat paling sedikit ada tujuh UU khusus yang secara normatif masih
berlaku dan dapat dipergunakan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi. UU tersebut meliputi :
- UU No. 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001.
- UU No. 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU No. 46 Tahun 2009 mengenai Pengadilan Tindak Pidan Korupsi.
- UU No. 28 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
- UU No. 8 Tahun 2010 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
- UU No. 13 Tahun 2006 mengenai Perlindungan Saksi dan Korban.
- UU No. 7 Tahun 2006 mengenai Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003.
Dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan, rasanya sangat sulit
bagi masyarakat untuk lolos dan melepaskan diri dari jerat hukum apabila
melakukan tindak pidana korupsi. AKan tetapi, persoalannya tidaklah
berhenti sampai disitu saja. Berbagai peraturan perundang-undangan
tersebut tidak akan bermakna apabila tidak diterapkan sebagaimana yang
diharapkan oleh pembuat UU. Efek penjeraan untuk tidak melakukan tindak
pidana korupsi tidak akan pernah datang dari suatu peraturan
perundang-undangan yang tidak dilaksanakan secara konsekuen dan
konsistem.
Sumber :
- Elwi Danil, 2014. KORUPSI (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya). Penerbit PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar