Minggu, 24 Juli 2016

Pengertian dan Sejarah Perencanaan Tata Guna Lahan

Pengertian Perencanaan Tata Guna Lahan adalah suatu bentuk aktivitas yang telah berlangsung lama sepanjang sejarah peradaban manusia. Bentuk perencanaan sangat beragam, mulai dari yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks dan menerapkan berbagai pendekatan yang multi-konsep.
Perencanaan tata guna lahan sering dipertukarkan dengan istilah perencanaan penggunaan lahan; karena pada dasarnya memiliki pengertian yang sama. Dalam berbagai literatur, kedua istilah ini disebut land use planning. Sedikit perbedaan keduanya hanya terletak pada penekanan pada ruang (space). Tata guna lahan secara implisit mengandung pengertian ruang di dalamnya, karena terkait dengan tata guna : penataan atau pengaturan penggunaan, baik dalam konteks ruang maupun waktu. Sementara, penggunaan lahan tidak ditekankan seperti itu. Dengan demikian, perencanaan tata guna lahan juga memiliki relevansi dan bahkan sama dengan pengertian perencanaan tata ruang (spatial planning).
Definisi perencanaan tata guna lahan perlu dilihat secara koprehensif, dari sisi perencanaan, tata guna dan lahan. Secara umum, perencanaan dapat didefinisikan sebagai proses menyiapkan dan membuat sekumpulan keputusan untuk tindakan-tindakan di masa depan yang diarahkan untuk mencapai tujuan melalui usaha optimal. Keputusan dan tindakan dilakukan terhadap upaya tata guna (menata penggunaan) yang diinginkan (berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan) mengenai lahan, baik pada rentang waktu pendek (saat ini) maupun pada masa yang akan datang.
Pengertian Tata Guna Lahan adalah wujud dalam ruang di alam mengenai bagaimana penggunaan lahan tertata, baik secara alami maupun direncanakan. Dari sisi pengertian perencanaan sebagai suatu intervensi manusia, maka lahan secara alami dapat terus berkembang tanpa harus ada penataan melalui suatu intervensi. Sedangkan pada keadaan yang direncanakan, tata guna lahan akan terus berkembang sesuai dengan upaya perwujudan pola dan struktur ruang pada jangka waktu yang ditetapkan. FAO (tahun 1993) memandang perencanaan tata guna lahan (land use planning) dari sisi intervensi dalam memberikan dorongan dan bantuan pada pengguna lahan (land users) dalam menata lahan.
Penekanan terhadap kata “perencanaan” adalah adanya intervensi, baik dari sisi kebijakan yang diperkuat oleh pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aktivitas sosial ekonomi yang terorganisasi secara baik. Di sinilah prinsip dan teknik penataan dan zonasi itu diperlukan, melalui pertimbangan efisiensi, ekuitas (equity), dan keberkelanjutan (sustainability).
Dari Penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pengertian Tata Guna Lahan adalah aktivitas penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan (dan termasuk air), dalam rangka untuk memilih, mengadopsi, dan menentukan pilihan penggunaan lahan terbaik dalam ruang berdasarkan potensi dan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial untuk meningkatkan produktivitas dan ekuitas, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam konteks perencanaan yang rasional-komprehensif, rencana tata guna lahan perlu didukung oleh informasi yang tepat, akurat dan terpercaya sehingga metode-metode analisis dan teori-teori serta prinsip-prinsip saintifik dapat digunakan secara efektif. Di sini dikenal adanya perencanaan tata guna lahan rasional. Menurut Van Lier and de Wrachien, Perencanaan Tata Guna Lahan Rasional adalah perencanaan yang mengoptimalkan penggunaan dan pengelolaan keseimbangan antara pengembangan dan perlindungan serta pelestarian lingkungan, melalui optimalisasi pemanfaatan data, metode dan prinsip-prinsip saintifik.
Karena komplekitas masalah yang terus dihadapi, istilah perencanaan tata guna lahan yang telah berkembang di beberapa negara kemudian berkembang lagi menjadi perencanaan tata ruang (spatial planning) dengan lingkup yang lebih luas : darat, laut dan udara. Namun, dalam prinsip penataan pada dasarnya kedua sistem perencanaan tersebut adalah sama.
Sejarah Perkembangan Perencanaan Tata Guna Lahan dan pengelolaan ruang dalam suatu wilayah pada hakekatnya dimulai dari pembuatan peta mengenai lahan atau ruang wilayah dengan lingkup yang dibatasi dan ini dapat ditelusuri kembali melalui kebudayaan kuno dari Mesopotamia dan Mesir.
Peta wilayah yang pertama adalah yang digambar pada suatu lempengan liat (clay tablet) pada tahun 2500 SM, yang hingga saat ini masih tersimpan di Semitic betapa pentingnya memahami pengelolaan ruang termasuk bagaimana mengarahkan aktivitas manusia dan pergerakan dalam ruang. Bahan peta yang dijadikan sebagai dasar memahami ruang, masih menggunakan gundukan tanah liat, tumpukan kerikil dan alur alur kecil yang diberi tongkat (stick), untuk menggambarkan hubungan hubungan spasial tata guna lahan seperti bukit, lokasi pemukiman, pusat aktivitas, kebun buah, tempat-tempat istirahat petani, jalur kendaraan gerobak pengangkut buah dan lain sebagainya.
| Sejarah Perkembangan Perencanaan Tata Guna Lahan |
Dalam perkembangan peradaban, dorongan atas keinginan menguasai ruang atau lahan di permukaan bumi terus meninggkat melalui penatagunaan lahan. Pada tahun 168 SM, Cina (pada era Dinasti Han) mengembangkan peta topografi dan peta tematik berbahan kain sutra (Karena kerta belum ada) untuk menginventarisasi kekayaan sumber daya alam dan aset kerajaan, termasuk instalasi militernya. Pada saat itu peta tata guna lahan pada lempengan liat pun telah ada, dan bahwa saat itu ada “zonasi lahan”. Cina dengan peradabannya yang tinggi mengembangkan simbol-simbol yang menggambarkan potensi dan kekuatan wilayahnya pada lembaran-lembaran kain sutra.
Pada tahun 1100 Masehi, terjadi suatu revolusi besar di bidang pemetaan , dimana seorang geografer terkenal islam Al-Idrisi untuk mengetahui gambaran ruang bumi ini untuk wilayah-wilayah Arab dan Mediteranian. Peta (atlas) tersebut menjadi sangat terkenal. Nama Al-Idrisi ini kemudian dipakai oleh The Clark University (Amerika Serikat) sebagai nama software atau program IDRISI untuk pengolahan citra satelit dan manajemen data dan analisis spasial yang cukup terkenal di dunia akademik saat ini. Gambaran ruang melalui peta-peta “tua” tersebut di atas merupakan petunjuk awal dari pentingnya informasi ruang dan rencana tata guna lahan (ruang) dalam pengelolaan sumber daya suatu wilayah.
Ilmu pemetaan untuk pengelolaan ruang terus berkembang dan kemudian pada tahun 1524 diterbitkan buku Cosmographia oleh Apianus (1495 sampai 1554). Dalam buku tersebut dimuat sistem Proyeksi Apianus yang merupakan proyeksi sterografik dan berbagai instruments dalam pengukuran lahan. Teknik pengukuran dan proyeksi tersebut mendasari berbagai teknik pengukuran lahan secara modern yang saat ini digunakan dalam berbagai survei dan pemetaan sumber daya lahan suatu wilayah. Evolusi di bidang instrument survey dan pemetaan terus berlangsung sejalan dengan kebutuhan dan upaya manusia dan kerajaan-kerajaan saat itu untuk menguasai sumber daya alam wilayah melalui inventarisasi.
Pada tahun 1830, teknologi penatagunaan lahan (khususnya melalui teknik-teknik kartografi) dan pemikiran-pemikiran dasar yang berhubungan dengan sumber daya alam dan lingkungan mulai berkembangan di Eropa untuk mendukung tahap-tahap baru dari pemetaan tematik sumber daya lahan. Saat itu dunia mengalami perubahan ekonomi pada revolusi industri dengan munculnya industri-industri pabrik yang membutuhkan bahan mentah dan tenaga kerja secara besar-besaran. Tentu saja ini menciptakan suatu kebutuhan infrastruktur baru dan perkembangan, sehingga perencanaan transportasi juga berkembang pesat. Pada tahun 1837, dilakukan suatu studi transportasi dalam hubungannya dengan pusat-pusat industri yang menyatukan bidang ilmu keteknikan, sosial dan sains sehubungan dengan analisis data spaial secara komprehensif. Hasilnya adalah berupa “atlas to Accompany the Second Report of the Irish Railway Commissioners“, yang muncul pada tahun 1838. Atlas tersebut terdiri dari suatu seri peta dasar yang seragam, yang menggambarkan populasi, jalur kendaraan, geologi, topografi dan tata guna lahan.
Di era modern perkembangan ilmu ruang untuk perencanaan begitu cepat karena ditunjang oleh teknologi komputer. Dalam buku berjudul Design with Nature ileh Ian McHarg (1969) dimuat konsep dari analisis kesesuaian atau kemampuan lahan (land suitability or capability analysis, disingkat SCA). SCA tersebut merupakan suatu teknik di mana data penggunaan lahan dalam suatu areal yang dipelajari diinput ke dalam suatu GIS (geographic information systems) analog dan digital, untuk mendapatkan informasi kesesuaian dan kemampuan lahan. Program SCA tersebut selanjutnya digunakan untuk mengembangkan model deterministik, supaya dapat diproduksi suatu peta perencanaan umum. Jika model tersebut diimplementasikan secara tepat, dan data yang benar-benar sesuai tersedia, peta ini akan lebih konsisten dengan kelas penggunaan lahan yang ada dan faktor pembatas baik oleh alam maupun kultural (budidaya). Design with Nature bukan merupakan pekerjaan akhir, melainkan “semi-final”, yang mempengaruhi penggunaan teknik-teknik overlai dari lembaran data spasial tereferensi dalam perencanaan tata guna lahan dan proses pengelolaan keputusan. Upaya-upaya McHarg dalam SCA telah diikuti oleh banyak studi dalam bidang yang sama pada masa-masa berikutnya.
Pada era modern, perencanaan tata guna lahan mulai dibantu oleh perangkat teknologi informasi geospasial, seperti penginderaan jauh dan geographic information system (GIS). Sistem yang pertama pada era modern yang dapat dianggap sebagai suatu GIS dalam membantu inventarisasi sumber daya lahan adalah “Canada Geographic Information System” atau CGIS. Roger Tomlinson (1982), yang juga terlibat dalam perancangan dan pengembangan sisem tersebut mengemukakan bahwa CGIS secara khusus dirancang untuk Rehabilitasi Pertanian dan Program Pembangunan Agensi dalam tubuh pemerintah Canada. Sasaran utama CGIS adalah untuk menganalisis data inventarisasi lahan Kanada, yang pada awalnya dikumpulkan untuk menemukan lahan-lahan marginal. Dalam konteks yang lebih luas, GIS pertama dikembangkan untuk membantu memecahkan masalah-masalah lingkungan; rehabilitasi dan pengembangan lahan-lahan pertanian Kanada. CGIS secara penuh diimplementasikan pada tahun 1964 atau setahun setelah konferensi pertama mengenai Sistem dan Program Informasi Perencanaan Perkotaan (Urban Planning Information System and Programs), yaitu suatu konferensi yang telah melahirkan Urban and Regional Information Systems Association.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang, penatagunaan lahan yang rasional akan lebih terbantukan dalam hal memaksimalkan prosedur-prosedur yang baku pada berbagai skala perencanaan.
 

Sumber :
– Sumbangan Baja, 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan Dalam Pengembangan Wilayah : Pendekatan Spasial & Aplikasinya. Penerbit Andi Offset : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar