Pengertian Perencanaan Tata Guna Lahan
adalah suatu bentuk aktivitas yang telah berlangsung lama sepanjang
sejarah peradaban manusia. Bentuk perencanaan sangat beragam, mulai dari
yang paling sederhana hingga yang sangat kompleks dan menerapkan
berbagai pendekatan yang multi-konsep.
Perencanaan tata guna lahan sering
dipertukarkan dengan istilah perencanaan penggunaan lahan; karena pada
dasarnya memiliki pengertian yang sama. Dalam berbagai literatur, kedua
istilah ini disebut land use planning. Sedikit perbedaan keduanya hanya
terletak pada penekanan pada ruang (space). Tata guna lahan
secara implisit mengandung pengertian ruang di dalamnya, karena terkait
dengan tata guna : penataan atau pengaturan penggunaan, baik dalam
konteks ruang maupun waktu. Sementara, penggunaan lahan tidak ditekankan
seperti itu. Dengan demikian, perencanaan tata guna lahan juga memiliki
relevansi dan bahkan sama dengan pengertian perencanaan tata ruang (spatial planning).
Definisi perencanaan tata guna lahan
perlu dilihat secara koprehensif, dari sisi perencanaan, tata guna dan
lahan. Secara umum, perencanaan dapat didefinisikan sebagai proses
menyiapkan dan membuat sekumpulan keputusan untuk tindakan-tindakan di
masa depan yang diarahkan untuk mencapai tujuan melalui usaha optimal.
Keputusan dan tindakan dilakukan terhadap upaya tata guna (menata
penggunaan) yang diinginkan (berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan)
mengenai lahan, baik pada rentang waktu pendek (saat ini) maupun pada
masa yang akan datang.
Pengertian Tata Guna Lahan adalah wujud
dalam ruang di alam mengenai bagaimana penggunaan lahan tertata, baik
secara alami maupun direncanakan. Dari sisi pengertian perencanaan
sebagai suatu intervensi manusia, maka lahan secara alami dapat terus
berkembang tanpa harus ada penataan melalui suatu intervensi. Sedangkan
pada keadaan yang direncanakan, tata guna lahan akan terus berkembang
sesuai dengan upaya perwujudan pola dan struktur ruang pada jangka waktu
yang ditetapkan. FAO (tahun 1993) memandang perencanaan tata guna lahan
(land use planning) dari sisi intervensi dalam memberikan dorongan dan bantuan pada pengguna lahan (land users) dalam menata lahan.
Penekanan terhadap kata “perencanaan”
adalah adanya intervensi, baik dari sisi kebijakan yang diperkuat oleh
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aktivitas sosial
ekonomi yang terorganisasi secara baik. Di sinilah prinsip dan teknik
penataan dan zonasi itu diperlukan, melalui pertimbangan efisiensi,
ekuitas (equity), dan keberkelanjutan (sustainability).
Dari Penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pengertian Tata Guna Lahan adalah aktivitas penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan (dan termasuk air), dalam rangka untuk memilih, mengadopsi, dan menentukan pilihan penggunaan lahan terbaik dalam ruang berdasarkan potensi dan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial untuk meningkatkan produktivitas dan ekuitas, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pengertian Tata Guna Lahan adalah aktivitas penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan (dan termasuk air), dalam rangka untuk memilih, mengadopsi, dan menentukan pilihan penggunaan lahan terbaik dalam ruang berdasarkan potensi dan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial untuk meningkatkan produktivitas dan ekuitas, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam konteks perencanaan yang
rasional-komprehensif, rencana tata guna lahan perlu didukung oleh
informasi yang tepat, akurat dan terpercaya sehingga metode-metode
analisis dan teori-teori serta prinsip-prinsip saintifik dapat digunakan
secara efektif. Di sini dikenal adanya perencanaan tata guna lahan
rasional. Menurut Van Lier and de Wrachien, Perencanaan Tata Guna Lahan Rasional
adalah perencanaan yang mengoptimalkan penggunaan dan pengelolaan
keseimbangan antara pengembangan dan perlindungan serta pelestarian
lingkungan, melalui optimalisasi pemanfaatan data, metode dan
prinsip-prinsip saintifik.
Karena komplekitas masalah yang terus
dihadapi, istilah perencanaan tata guna lahan yang telah berkembang di
beberapa negara kemudian berkembang lagi menjadi perencanaan tata ruang (spatial planning)
dengan lingkup yang lebih luas : darat, laut dan udara. Namun, dalam
prinsip penataan pada dasarnya kedua sistem perencanaan tersebut adalah
sama.
Sejarah Perkembangan Perencanaan Tata
Guna Lahan dan pengelolaan ruang dalam suatu wilayah pada hakekatnya
dimulai dari pembuatan peta mengenai lahan atau ruang wilayah dengan
lingkup yang dibatasi dan ini dapat ditelusuri kembali melalui
kebudayaan kuno dari Mesopotamia dan Mesir.
Peta wilayah yang pertama adalah yang digambar pada suatu lempengan liat (clay tablet)
pada tahun 2500 SM, yang hingga saat ini masih tersimpan di Semitic
betapa pentingnya memahami pengelolaan ruang termasuk bagaimana
mengarahkan aktivitas manusia dan pergerakan dalam ruang. Bahan peta
yang dijadikan sebagai dasar memahami ruang, masih menggunakan gundukan
tanah liat, tumpukan kerikil dan alur alur kecil yang diberi tongkat (stick),
untuk menggambarkan hubungan hubungan spasial tata guna lahan seperti
bukit, lokasi pemukiman, pusat aktivitas, kebun buah, tempat-tempat
istirahat petani, jalur kendaraan gerobak pengangkut buah dan lain
sebagainya.
| Sejarah Perkembangan Perencanaan Tata Guna Lahan |
Dalam perkembangan peradaban, dorongan atas keinginan menguasai ruang atau lahan di permukaan bumi terus meninggkat melalui penatagunaan lahan. Pada tahun 168 SM, Cina (pada era Dinasti Han) mengembangkan peta topografi dan peta tematik berbahan kain sutra (Karena kerta belum ada) untuk menginventarisasi kekayaan sumber daya alam dan aset kerajaan, termasuk instalasi militernya. Pada saat itu peta tata guna lahan pada lempengan liat pun telah ada, dan bahwa saat itu ada “zonasi lahan”. Cina dengan peradabannya yang tinggi mengembangkan simbol-simbol yang menggambarkan potensi dan kekuatan wilayahnya pada lembaran-lembaran kain sutra.
Dalam perkembangan peradaban, dorongan atas keinginan menguasai ruang atau lahan di permukaan bumi terus meninggkat melalui penatagunaan lahan. Pada tahun 168 SM, Cina (pada era Dinasti Han) mengembangkan peta topografi dan peta tematik berbahan kain sutra (Karena kerta belum ada) untuk menginventarisasi kekayaan sumber daya alam dan aset kerajaan, termasuk instalasi militernya. Pada saat itu peta tata guna lahan pada lempengan liat pun telah ada, dan bahwa saat itu ada “zonasi lahan”. Cina dengan peradabannya yang tinggi mengembangkan simbol-simbol yang menggambarkan potensi dan kekuatan wilayahnya pada lembaran-lembaran kain sutra.
Pada tahun 1100 Masehi, terjadi suatu
revolusi besar di bidang pemetaan , dimana seorang geografer terkenal
islam Al-Idrisi untuk mengetahui gambaran ruang bumi ini untuk
wilayah-wilayah Arab dan Mediteranian. Peta (atlas) tersebut menjadi
sangat terkenal. Nama Al-Idrisi ini kemudian dipakai oleh The Clark
University (Amerika Serikat) sebagai nama software atau program IDRISI
untuk pengolahan citra satelit dan manajemen data dan analisis spasial
yang cukup terkenal di dunia akademik saat ini. Gambaran ruang melalui
peta-peta “tua” tersebut di atas merupakan petunjuk awal dari pentingnya
informasi ruang dan rencana tata guna lahan (ruang) dalam pengelolaan
sumber daya suatu wilayah.
Ilmu pemetaan untuk pengelolaan ruang
terus berkembang dan kemudian pada tahun 1524 diterbitkan buku
Cosmographia oleh Apianus (1495 sampai 1554). Dalam buku tersebut dimuat
sistem Proyeksi Apianus yang merupakan proyeksi sterografik dan
berbagai instruments dalam pengukuran lahan. Teknik pengukuran dan
proyeksi tersebut mendasari berbagai teknik pengukuran lahan secara
modern yang saat ini digunakan dalam berbagai survei dan pemetaan sumber
daya lahan suatu wilayah. Evolusi di bidang instrument survey dan
pemetaan terus berlangsung sejalan dengan kebutuhan dan upaya manusia
dan kerajaan-kerajaan saat itu untuk menguasai sumber daya alam wilayah
melalui inventarisasi.
Pada tahun 1830, teknologi penatagunaan
lahan (khususnya melalui teknik-teknik kartografi) dan
pemikiran-pemikiran dasar yang berhubungan dengan sumber daya alam dan
lingkungan mulai berkembangan di Eropa untuk mendukung tahap-tahap baru
dari pemetaan tematik sumber daya lahan. Saat itu dunia mengalami
perubahan ekonomi pada revolusi industri dengan munculnya
industri-industri pabrik yang membutuhkan bahan mentah dan tenaga kerja
secara besar-besaran. Tentu saja ini menciptakan suatu kebutuhan
infrastruktur baru dan perkembangan, sehingga perencanaan transportasi
juga berkembang pesat. Pada tahun 1837, dilakukan suatu studi
transportasi dalam hubungannya dengan pusat-pusat industri yang
menyatukan bidang ilmu keteknikan, sosial dan sains sehubungan dengan
analisis data spaial secara komprehensif. Hasilnya adalah berupa “atlas to Accompany the Second Report of the Irish Railway Commissioners“,
yang muncul pada tahun 1838. Atlas tersebut terdiri dari suatu seri
peta dasar yang seragam, yang menggambarkan populasi, jalur kendaraan,
geologi, topografi dan tata guna lahan.
Di era modern perkembangan ilmu ruang
untuk perencanaan begitu cepat karena ditunjang oleh teknologi komputer.
Dalam buku berjudul Design with Nature ileh Ian McHarg (1969) dimuat konsep dari analisis kesesuaian atau kemampuan lahan (land suitability or capability analysis,
disingkat SCA). SCA tersebut merupakan suatu teknik di mana data
penggunaan lahan dalam suatu areal yang dipelajari diinput ke dalam
suatu GIS (geographic information systems) analog dan digital,
untuk mendapatkan informasi kesesuaian dan kemampuan lahan. Program SCA
tersebut selanjutnya digunakan untuk mengembangkan model deterministik,
supaya dapat diproduksi suatu peta perencanaan umum. Jika model tersebut
diimplementasikan secara tepat, dan data yang benar-benar sesuai
tersedia, peta ini akan lebih konsisten dengan kelas penggunaan lahan
yang ada dan faktor pembatas baik oleh alam maupun kultural (budidaya).
Design with Nature bukan merupakan pekerjaan akhir, melainkan
“semi-final”, yang mempengaruhi penggunaan teknik-teknik overlai dari
lembaran data spasial tereferensi dalam perencanaan tata guna lahan dan
proses pengelolaan keputusan. Upaya-upaya McHarg dalam SCA telah diikuti
oleh banyak studi dalam bidang yang sama pada masa-masa berikutnya.
Pada era modern, perencanaan tata guna
lahan mulai dibantu oleh perangkat teknologi informasi geospasial,
seperti penginderaan jauh dan geographic information system (GIS).
Sistem yang pertama pada era modern yang dapat dianggap sebagai suatu
GIS dalam membantu inventarisasi sumber daya lahan adalah “Canada Geographic Information System”
atau CGIS. Roger Tomlinson (1982), yang juga terlibat dalam perancangan
dan pengembangan sisem tersebut mengemukakan bahwa CGIS secara khusus
dirancang untuk Rehabilitasi Pertanian dan Program Pembangunan Agensi
dalam tubuh pemerintah Canada. Sasaran utama CGIS adalah untuk
menganalisis data inventarisasi lahan Kanada, yang pada awalnya
dikumpulkan untuk menemukan lahan-lahan marginal. Dalam konteks yang
lebih luas, GIS pertama dikembangkan untuk membantu memecahkan
masalah-masalah lingkungan; rehabilitasi dan pengembangan lahan-lahan
pertanian Kanada. CGIS secara penuh diimplementasikan pada tahun 1964
atau setahun setelah konferensi pertama mengenai Sistem dan Program
Informasi Perencanaan Perkotaan (Urban Planning Information System and Programs), yaitu suatu konferensi yang telah melahirkan Urban and Regional Information Systems Association.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi seperti sekarang, penatagunaan lahan yang rasional akan
lebih terbantukan dalam hal memaksimalkan prosedur-prosedur yang baku
pada berbagai skala perencanaan.
Sumber :
– Sumbangan Baja, 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan Dalam Pengembangan Wilayah : Pendekatan Spasial & Aplikasinya. Penerbit Andi Offset : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar